Salah satu masalah klasik yang sering dialami petani padi
adalah anjloknya harga jual gabah / beras pada saat panen raya, dan
meningkatnya harga pada saat diluar panen. Kondisi tersebut menyebabkan petani
menjadi rugi dan usahatani padi tidak menguntungkan. Selain itu, kenaikan harga
beras dapat menimbulkan gejolak sosial mengingat beras merupakan makanan pokok
masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah berupaya membuat
regulasi/kebijakan perberasan agar gabah/beras petani dibeli dengan harga
tertentu yang bisa memberikan keuntungan yang layak bagi petani. Selain itu,
beras dijual ke masyarakat/konsumen diatur dengan harga tertentu sehingga
masyarakat mampu mengakses dalam batas wajar. Kebijakan tersebut dikenal dengan
istilah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) procurement price policy.
Penetapan HPP dilakukan dalam rangka meningkatkan pendapatan
petani, pengembangan ekonomi pedesaan, stabilitas ekonomi nasional, peningkatan
ketahanan pangan, dan dalam rangka pengadaan cadangan pangan. HPP gabah yang
ditetapkan pemerintah diharapkan menjadi “semacam harga minimum” (floor
price) yang berfungsi sebagai referensi harga (price reference) bagi
petani dan pedagang yang melakukan transaksi jual-beli gabah/beras.
Badan Ketahanan Pangan berperan besar dalam penyusunan
kebijakan HPP gabah/beras. Kegiatan yang dilakukan BKP dalam proses penyusunan
HPP gabah/beras antara lain melakukan kajian/analisis harga nasional dan
internasional, analisis usaha tani, analisis usaha perdagangan dan pengolahan
gabah/beras untuk memperoleh informasi besaran harga pembelian pemerintah (HPP)
gabah/beras yang bisa melindungi petani dan konsumen. Penetapan HPP gabah/beras
pertama kali dilakukan pada tahun 2002 yang dituangkan melalui Instruksi
Presiden No. 9 Tahun 2002. Sampai tahun 2012, sudah 8 (delapan) kali ditetapkan
kebijakan HPP gabah/beras untuk menyesuaikan situasi perberasan dalam negeri,
terutama akibat perkembangan harga yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Beberapa hal yang mendasari perubahan kebijakan HPP antara
lain penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM), seperti kejadian pada tanggal
1 Oktober 2005 terjadi kenikan solar sebesar 124 persen yang berdampak sangat
besar terhadap kinerja sektor pertanian. Untuk mempertahankan profitabilitas
usahatani padi agar usaha tani padi menguntungkan (minimal 30 persen),
pemerintah mengeluarkan kebijakan perberasan baru melalui Inpres No. 13/2005
yang menaikan HPP gabah/beras.
Faktor lain yang menyebabkan perubahan HPP adalah harga
gabah/beras di pasaran yang jauh lebih tinggi dibanding HPP, seperti pada akhir
Tahun 2006 sampai awal 2007, harga gabah/beras sekitar 40-60 persen di atas
HPP. Hal ini menyebabkan Bulog tidak dapat memenuhi target pengadaan
gabah/beras pemerintah, sehingga pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan
perberasan melalui Inpres No. 3 Tahun 2007.
Kenaikan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk subsidi pada
April 2010 yang berdampak pada tingginya usahatani padi, juga menjadi salah
satu alasan pemerintah kembali menaikkan HPP sebesar 10 persen dengan
mengeluarkan Inpres No. 7 Tahun 2009 yang mulai diberlakukan pada Januari 2010.
Di tingkat konsumen, kebijakan perberasan dengan penetapan
HPP juga dinilai cukup efektif mengendalikan harga beras dalam negeri. Pada
Januari 2008, dunia internasional sedang mengalami krisis pangan yang
menyebabkan harga komoditas pangan penting seperti beras, jagung, kedelai dan
gandum melonjak tajam. Melonjaknya harga beras dunia pada periode tersebut
tidak mempengaruhi harga beras dalam negeri.
0 comments:
Post a Comment